Canda Tawa Dalam Istana, Dibalik Dilengserkanya Gus Dur
Berita Baru, Tokoh – Masih terngiang dalam benak para warga Indonesia Khususnya Nahdliyin atau para pengagum Gus Dur tepat pada tanggal 23 Juli 2001 KH. Abdurrahman Wahid dilengserkan secara politis oleh parlemen melalui sidang istimewa (SI) MPR RI.
Tuduhan yang terkenal kepada Gus Dur adalah kasus Buloggate dan Bruneigate yang sampai sekarang MPR tidak bisa membuktikan Gus Dur terlibat dalam kasus tersebut. Pelengseran Gus Dur membuat marah warga nahdliyin terutama daerah jawa timur puluhan ribu massa dari warga NU turun ke jalan, mereka marah bukan sekedar Gus Dur yang dilengserkan tapi hilangnya demokrasi.
Gus Dur dan mereka yang dekat dengan nya, seperti Saifullah Yusuf keponakan Gus Dur sekaligus ketua Umum PP GP Ansor, dan KH Hasyim Muzadi Ketua PBNU, membujuk sekuat tenaga para pimpinan – pimpinan NU atau Ansor di daerah – daerah untuk tidak melakukan demonstran, khususnya untuk mencegah agar mereka tidak datang ke Jakarta.
Ketika posisi kritis orang lain mencari dukungan masa, Gus Dur malah sebaliknya dia sibuk mengunjungi daerah basis NU untuk menenangkan massa agar tidak turun ke jalan, Seperti halnya pidato di Pasuruan Jawa Tengah Gusdur menyambangi ribuan warga yang berkumpul untuk membelanya lalu Gus Dur menyuruh mereka pulang.
“Saya memahami perasaan Anda tetapi tetaplah berkepala dingin walaupun hati Anda sedang panas, Nah, sekarang pulanglah ke rumah dan berdoalah untuk kami dengan demikian Anda telah melakukan yang terbaik ”,ucap Gus Dur.
Pada awal bulan April sekelompok orang di Surabaya menyatakan sebanyak 20.000 Orang “siap mati” untuk Gus Dur, untuk menenangkan masa yang sedang panas Istana mengadakan Istighosah massal pada tanggal 30 April masa yang hadir lebih dari 20.000 orang, setelah acara selesai masa membubarkan diri dengan damai.
Walaupun kejatuhan Gus Dur bersifat tragis, tiga hari terakhir di Istana Merdeka ditandai oleh suasana yang sangat aneh, suasana meriah hadir di Istana pada saat yang seharusnya di rundung duka cita.
Dari subuh hingga larut malam komplek Istana Merdeka dipenuhi oleh gelombang manusia untuk mengunjungi pemimpin yang disingkirkan ini, bahkan mereka harus rela berbaris beberapa jam hanya untuk berjabat tangan dan mengucapkan dukungan kepada Gus Dur.
Ada yang menarik, mereka yang semula gencar mengkritik Gus Dur dari kalangan Intelektual, Jurnalis , dan Aktivis datang pada waktu tersebut untuk menyampaikan kesedihan hati melihat pencopotan ini dan meminta maaf.
Pada hari itu di komplek Istana tidak hanya kelompok elit Jakarta yang berkumpul tetapi banyak warga biasa yang hanya mengenakan kemeja katun memakai sarung atau celana, jarak ratusan kilometer ditempuh, dalam wajah mereka terdapat senyum yang tidak bisa dibeli oleh uang.
Walaupun hari – hari terakhir ini dapat tumpahan banyak air mata dan saat – saat yang memilukan, jam jam terakhir di tandai oleh ledakan tawa dari dalam kantor Gusdur yang dipenuhi oleh buku – buku. Di dalam ruang ini Gusdur sedang bercakap – cakap dengan tamunya. Ketika keluarga dan teman – temannya sibuk memasukan barang kedalam peti dan mengosongkan rak dan lemari, suaranya lebih menyerupai perpisahan di kelas ketika tahun ajaran berakhir daripada suasana dukacita.
Gus Dur yang dikenal sebagai Pahlawan Humanisme tidak akan rela jika harus ada tumpah darah untuk mempertahankan jabatanya, lebih baik turun Jabatan dari pada ada darah yang keluar walaupun setetes, Tidak Ada Jabatan Yang Perlu diPertahankan Mati – Matian.
Bogor, 31 Oktober 2022
Muhammad Syahrul