
Dari Huruf ke Hikmah: Menyelami Makna Kepatuhan Santri dalam Dunia Modern
Beritabaru Opini – Menjadi santri adalah anugerah besar yang tak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga menumbuhkan kedewasaan spiritual dan kematangan moral.
Di pesantren, kami belajar bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan teori dan hafalan, melainkan jalan panjang untuk menemukan makna hidup dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Setiap huruf yang dipelajari, setiap nasihat yang didengar, dan setiap sujud yang dilakukan, adalah bagian dari proses penyucian diri — agar ilmu tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memperhalus hati.
Dalam tradisi pesantren, kepatuhan kepada kiai bukanlah bentuk ketundukan yang membuta, melainkan manifestasi dari adab dan kesadaran epistemik. Seorang murid menghormati gurunya bukan karena posisi sosial, melainkan karena menyadari bahwa ilmu menuntut kerendahan hati. Di bawah bimbingan para kiai, santri diajarkan untuk berpikir kritis sekaligus menjaga tata krama; untuk berpendapat dengan nalar namun tetap berpegang pada nilai. Di sinilah letak kemuliaan pesantren — mengajarkan keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas.
Sayangnya, belakangan muncul pandangan yang keliru, menuduh kepatuhan santri kepada kiai sebagai bentuk feodalisme. Pandangan ini mencerminkan jarak pemahaman terhadap kultur keilmuan Islam klasik yang menempatkan adab sebagai fondasi utama pencarian ilmu. Pesantren bukanlah institusi feodal, melainkan ruang transformasi — tempat di mana manusia belajar memerdekakan diri dari hawa nafsu dan kesombongan intelektual.
Kiyai bukan penguasa yang menindas, tetapi penjaga nilai yang menuntun. Kepatuhan santri bukanlah keterbelakangan, melainkan pilihan sadar untuk menundukkan diri pada proses, pada ilmu, dan pada kebenaran. Di tengah dunia modern yang sering memuja kebebasan tanpa arah, pesantren mengingatkan bahwa kebebasan sejati justru lahir dari kesadaran untuk tunduk kepada nilai-nilai ilahi.
Menjadi santri adalah tentang menapaki jalan ilmu dengan penuh cinta dan kerendahan hati — menjaga keseimbangan antara berpikir kritis dan beradab, antara kebebasan dan ketundukan, antara dunia dan akhirat. Sebab kami percaya, ilmu tanpa adab adalah kesia-siaan, dan kebebasan tanpa nilai hanyalah bentuk lain dari keterbelengguan.
