Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Guru dan 1 Mei: Menafsir Ulang Pendidikan dalam Perspektif Kelas Pekerja

Guru dan 1 Mei: Menafsir Ulang Pendidikan dalam Perspektif Kelas Pekerja



Berita Baru, Opini – Peringatan Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei selalu identik dengan perjuangan kelas pekerja melawan eksploitasi dalam sistem kapitalistik. Di Indonesia, momentum ini biasanya terfokus pada buruh industri, pekerja sektor formal, dan tuntutan normatif atas hak-hak dasar seperti upah layak, jaminan sosial, serta kondisi kerja yang manusiawi. Namun, ada satu kelompok pekerja yang keberadaannya kerap tidak diartikulasikan secara eksplisit dalam narasi perburuhan: para guru.

Guru selama ini ditempatkan dalam bingkai naratif yang sarat dengan glorifikasi: pahlawan tanpa tanda jasa, pendidik bangsa, pelita di tengah kegelapan. Retorika ini tampak mulia, namun dalam banyak hal justru menutupi dimensi material dari profesi guru sebagai bagian dari kelas pekerja.

Guru adalah buruh pendidikan—mereka menjual tenaga, waktu, dan kapasitas intelektual mereka kepada negara atau lembaga pendidikan swasta, dengan imbalan yang tidak selalu setara dengan beban kerja yang dipikulnya.

Bagi sebagian besar guru, terutama yang berada di luar struktur ASN atau sekolah unggulan, relasi kerja yang dihadapi lebih menyerupai bentuk relasi eksploitatif. Honor minim, kontrak tidak tetap, tidak adanya jaminan kesejahteraan, serta beban administrasi yang memberatkan tanpa relevansi langsung terhadap kualitas pedagogis—semua ini menandakan bahwa guru tidak bebas dari logika kerja kapitalistik.

Bahkan dalam konteks pendidikan negeri sekalipun, guru tunduk pada sistem manajerialisme pendidikan: mereka dievaluasi berdasarkan performa kuantitatif, bukan berdasarkan kapasitas transformasionalnya dalam membentuk kesadaran kritis peserta didik.

Keterasingan guru dari narasi perburuhan bukan hanya disebabkan oleh absennya kesadaran kolektif, melainkan juga oleh konstruksi ideologis yang membungkam dimensi perjuangan kelas dalam pendidikan. Pendidikan dianggap ranah moral dan kultural, bukan ranah ekonomi-politik. Akibatnya, perjuangan guru sering dilucuti dari akar strukturalnya, dan direduksi menjadi sekadar keluhan teknis atau masalah personal.

Maka, 1 Mei seharusnya menjadi ruang politik untuk merehabilitasi posisi guru dalam peta perjuangan kelas. Guru bukan sekadar aktor budaya, tetapi bagian dari struktur produksi sosial yang menentukan arah peradaban. Dalam dunia yang semakin memperlakukan pendidikan sebagai komoditas, guru berada di garis depan sebagai pekerja yang terdampak langsung oleh kebijakan neoliberal: privatisasi, desentralisasi tanpa proteksi, dan pengukuran kinerja berbasis pasar.

Mengafirmasi guru sebagai buruh pendidikan bukan berarti merendahkan martabat profesi, melainkan mengembalikannya pada realitas sosial yang sesungguhnya. Karena hanya dengan kesadaran kelas itulah, perjuangan guru bisa terhubung dengan gerakan buruh yang lebih luas. Pendidikan tidak akan pernah adil jika para pendidiknya terus diperlakukan secara tidak adil.

1 Mei bukan hanya milik mereka yang bekerja di pabrik dan kantor-kantor produksi. 1 Mei juga milik para guru yang diam-diam berjuang di ruang kelas, mengajar dengan keterbatasan, dan berharap pada keadilan yang belum kunjung datang. Maka, pada Hari Buruh ini, mari kita akui satu kenyataan sederhana yang terlalu lama diabaikan: guru adalah buruh, dan mereka layak diperjuangkan.

Oleh: Ardian Fatkhurohman, S.Pd