Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sidang lanjutan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang diajukan oleh Terpidana Hidayat Saputra
Sidang lanjutan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang diajukan oleh Terpidana Hidayat Saputra di PN Kota Bogor

Hakim Tunggal Peninjauan Kembali Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Kota Bogor, Diduga Melanggar UU Kekuasaan Kehakiman



Berita Baru, Bogor – Sidang lanjutan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang diajukan oleh terpidana Hidayat Saputra menemukan babak baru pada Rabu, 03/05/2023. Kali ini, merupakan sidang keempat dalam pelaksanaan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Kota Bogor

Panggilan sidang pertama pada tanggal 21 Maret 2023, penasehat hukum terpidana tidak bersedia hadir dikarenakan menanyakan rujukan Mahkamah Agung atas pelaksanaan PK Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor.

Masa memori PK baru diajukan tanggal 20 Maret 2023, selang 1 hari PN Kota Bogor sudah mengirim release panggilan untuk bersidang dengan surat Nomor : W11.U2/879/HK01/3/2023 Tertaggal 21 Maret 2023.

“Kami Tim Penasehat Hukum dari Kantor Hukum Edy Tj, Suhendar Dan Paralegal Lembaga Hukum Indonesia merasa janggal ketika Pengadilan Negeri Bogor melaksanakan PK tanpa arahan atau rujukan dari Mahkamah Agung. Mana dasar bundel A dari Mahkamah Agung nya?”, imbuh Edy Tjahjono saat wawancara di depan Kantor PN Kota Bogor.

Untuk Sidang kedua dilaksanakan pada tanggal 10 April 2023, pada sidang tersebut tim penasehat hukum terpidana hadir, kehadiran tim Penasehat Hukum untuk mempertanyakan langsung kepada Hakim tentang rujukan Mahkamah Agung atas pelaksanaan sidang peninjauan kembali tersebut.

Alih-alih bukannya mendapat jawaban, tim penasehat hukum terperanjat karena hakim yang memimpin sidang PK di pimpin hakim tunggal PA, SH., MH. Padahal dalam peradilan umum, selain Praperadilan, hakim yang memimpin sidang harus Majelis Hakim berjumlah ganjil yang terdiri dari hakim ketua dan anggota.

Dalam sidang kedua, hakim sangat otoriter dan tidak menanggapi keberatan dari tim Penasehat Hukum Hidayat Saputra. “Padahal hakim seharusnya ibarat wasit, posisinya jangan aktif tapi pasif dalam memimpin sidang. Ini hakim ikut nendang bola dan berpihak ke salah satu pihak, hancur lah dunia peradilan jika dibiarkan berjalan seperti ini”, tegas Edy Tj.

Diduga dalam persidangan kedua tersebut hakim memaksakan sidang selanjutnya akan digelar tanggal 13 April 2023 untuk menghadirkan terpidana hidayat saputra, sidang kedua tersebut berjalan deadlock.

Pada saat sidang ketiga, tim penasehat hukum tidak hadir dengan alasan sidang PK sudah tidak sesuai aturan yang berlaku. Terpidana Hidayat dipaksa dihadirkan tanpa didampingi tim penasehat hukum. Dalam sidang ketiga, tidak menghasilkan apa-apa, karena terpidana menolak bersidang tanpa penasehat hukum.

Selanjutnya, Pengadilan Negeri Kota Bogor mengirim release panggilan sidang Peninjauan Kembali pada tanggal 03 Mei 2023 ke Kantor Firma Hukum Edy TJ. Tim penasehat hukum bersedia hadir untuk meminta putusan atas sidang peninjauan kembali yang sudah janggal dari awal. Sidang yang seyogyanya dilaksanakan pukul 10.00 WIB berdasarkan release Panggilan dari Pengadilan Negeri Bogor, ternyata baru bisa digelar pukul 15.00 WIB.

Setelah hakim tunggal mengetuk palu, hakim menanyakan kepada jaksa apakah terpidana bisa dihadirkan dimuka persidangan, Jaksa mengatakan bahwa terpidana hidayat saputra tidak bersedia untuk hadir dan menuliskan sepucuk surat atas penolakannya.

Lalu, hakim menanyakan kepada penasehat hukum Hidayat Saputra, “Penasehat hukum mau nya apa?” dijawab oleh Edy TJ. “Sesuai Petitum Memori PK, berdasarkan 183 KUHAP. Majelis Hakim tingkat pertama dalam putusan perkara pidana khusus UU No 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia nomor : 282/pid.sus/2022/PN Bgr. Pada pemeriksaan nya, tidak dapat membuktikan 2 (dua) alat bukti cukup (ic. 184 KUHAP). Maka sepatutnya, permohonan PK terpidana Hidayat Saputra dikabulkan, dan terpidana dibebaskan demi hukum sesuai ketentuan pasal 183 KUHAP.” Ujar Edy Tjahjono.

Kuasa hukum terpidana pun menganggap janggal. Seharusnya Peninjauan Kembali Mahkamah Agung hanya bersidang sekali bukan berkali-kali seperti ini dan dipimpin majelis hakim dan bukan majelis hakim yang memutus perkara yang di PK-an.

Atas rangkaian kejanggalan ini, Advokat Edy Tj yang juga merupakan Ketua Umum Lembaga Hukum Indonesia (LHI) menilai bahwa hakim tunggal tersebut ilegal. “Seharusnya jumlah hakim saat memeriksa dan memutus perkara di Pengadilan yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman terdapat dalam Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman. (1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-sekurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota”, tutup Tedy.