Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Isra Miraj
Foto : Flayer Peringatan Isra Miraj Berita Baru Jabar

Memaknai Perjalanan Rasulullah Saat Isra Miraj, Dengan Kacamata Tasawuf



Berita Baru, Religi – Bulan Rajab merupakan salah satu diantara empat bulan yang dianggungkan dalam Agama Islam, sebagaimana sudah diketahui terdapat peristiwa besar bagi umat Islam di bulan ke tujuh dalam kalender Hijriah ini, diantaranya di Isra Mi’raj nya Rasulullah Muhammad SAW

Meski peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah terjadi pada tanggal 27 Rajab namun umat Islam memperingatinya dari awal datangnya bulan rajab sampai memasuki bulan safar masih ada yang meperingati peristiwa agung tersebut. 

Dalam Khutban Jum’at Dr KH Khoirul Huda Basyir menerangkan hikmah Isra Mi’raj dalam kacamatan Tasawuf, Jum’at (17/2/2023) yang di tayangkan di website Kementerian Agama Republik Indonesia. 

Dengan mengutip Surat Al – Isra ayat 1, KH Khoirul Huda mengajak, untuk mencermati dari tafsir ayat tersebut, agar Isra Mi’raj tidak sekedar di peringati saja, namun harus membekas dan mencerahkan dalam diri kehidupan umat muslim. 

“Mari sejenak mencermati penjelasan ringkas para ahli tafsir tentang kisah Isra’ Mi’raj ini, agar peristiwa nan agung ini tidak hanya sekedar menjadi kisah sejarah kenabian yang setiap tahun diperingati tetapi kering makna dan tidak memberikan atsar (dampak) yang membekas dan mencerahkan dalam diri dan kehidupan kaum Muslimin,”ucapnya.

Berikut untaian khotbah yang di bawakan KH Khoirul Huda Basyir tentang makna Isra Mi’raj. 

Pertama, kata “subhana” (Maha Suci) dalam Al Quran digunakan untuk menunjukkan keajaiban terhadap sesuatu. Dalam konteks ayat ini adalah apa yang disebut sesudahnya yaitu peristiwa Isro Mi’roj. Ia merupakan peristiwa yang menakjubkan karena kejadiannya sangat di luar kebiasaan yang dikenal manusia. Para mufassir juga menyatakan, jika ada ayat yang diawali dengan kata ‘subhana’, maka di dalamnya ada penjelasan terkait peristiwa luar biasa yang mustahil dijangkau dengan logika manusia semata. 

Kalaulah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hari ini dapat terpecahkan dengan kekuatan teknologi modern melalui munculnya pesawat terbang atau kendaraan supercepat di darat, maka perjalanan bliau dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha akan senantiasa menjadi misteri sampai kapan pun. Hanya iman dalam panduan wahyu yang mampu menerima dan menjelaskannya.

Kedua, kata “asra” (memperjalankan) bermakna pasifnya Nabi Muhammad saw. dan ‘aktifnya’ kuasa Allah dalam peristiwa monumental ini. Di atas beliau ada Allah yang Mahakuasa, mulai dari merencanakan, memperjalankan, mempertemukan dengan nabi-nabi sebelumnya, memberikan perintah shalat, memperlihatkan tanda-tanda kebesarannya di alam ghaib yang tidak pernah terlintas dalam benak manusia dan seterusnya. Perjalanan Isra Mi’raj bukan kehendak Nabi dan tidak terjadi atas dasar kemampuan pribadinya, akan tetapi atas kehendak Allah swt. Atas dasar itu, sejak awal ayat ini mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa tersebut harus dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah swt. Karenanya, sungguh keliru jika ada orang memahami dan mengukur peristiwa itu dengan ukuran kemampuan makhluk.

Penggalan ayat ini sesungguhnya mengandung maka bahwa perjalanan Isra Mi’raj dilakukan oleh satu pihak, dalam hal ini subjek, yakni Allah swt terhadap satu objek, yakni hamba-Nya, dalam hal ini Nabi Muhammad saw. Pada tahap ini, kita tidak perlu membahas soal teknis. Sebab Allah swt. benar-benar Berkuasa atas segala sesuatu yang Ia kehendaki.

Ketiga, kata “bi-‘abdihi” (hamba-Nya). Allah tidak menyebutkan nama Muhammad saw. secara langsung yang bermakna semua hamba-Nya dapat melakukan mi’raj sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa shalat merupakan mi’rajnya orang-orang beriman. 

Di sini, kita wajib bersyukur dan optimis. Sebab, di mana pun maqam spiritual yang kita duduki, ada kesempatan yang besar untuk naik kelas. Allah telah memberikan kepada manusia tiket yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk melakukan mi’raj, naik bertemu dengan Allah swt. melalui ibadah shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Sementara huruf ‘ba’ dalam kalimat “bi-‘abdihi” berfungsi sebagai isyarat kedekatan (littab‘idl). Artinya, Allah memberikan kriteria khusus hanya kepada hamba-hamba yang dekat dengan-Nya untuk melakukan perjalanan spiritual, naik kepada-Nya. 

Penggunaan huruf ‘ba’ itu juga mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ tersebut terjadi di bawah kekuasaan dan kendali Allah swt., penggunaan huruf ba’ ini menjadikan Nabi bukan saja diisra’kan lalu dilepas begitu saja tetapi dilakukan di bawah bimbingan-Nya secara terus menerus bahkan selalu disertai oleh-Nya.

Keempat, kata “lailan” (malam). Ada begitu banyak makna malam dalam ayat ini. Malam, mula-mula juga disyariatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dalam shalat tahajjud. Malam juga dipilih Allah untuk menurunkan al-Qur’an al-Karim. Turunnya wahyu pertama terjadi di malam hari di gua Hira saat Nabi tengah ber-tahannuts. 

Para wali-wali Allah juga mendapatkan pengalaman spiritual yang mengesankan di waktu malam. Bahkan, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Siapa menghendaki martabat tinggi di hadapan Allah swt., hendaknya dia banyak berjaga di malam hari.” Karena itu pula, Allah menjanjikan kedudukan yang amat tinggi bagi siapa saja yang berlelah-lelah melawan kantuk untuk bangun di malam hari  bermunajah dan beribadah kepada-Nya.

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا

“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat Tahajjud sebagai (ibadah) tambahan bagimu; muda-mudahan Allah Ta’ala mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Bani Israil [17]: 79).

Allah Ta’ala juga lebih banyak memerintahkan ibadah shalat di malam hari. Mulai dari Maghrib, Isya’, Subuh, Tahajjud, Qiyamullail, Witr, dan lain sebagainya. Sedangkan di siang hari, hanya mensyariatkan shalat Zhuhur, Ashar, dan Dhuha. Di antara hikmahnya, waktu malam lebih khusyu’ karena diselimuti suasana tenang dan hening yang amat membantu tersambungnya frekwensi hamba dengan Khaliqnya.

Kelima, kalimat “minal masjidil harami ilal masjidil aqsha”, masjid adalah tempat sujud dan haram makna dasarnya adalah yang dihormati/disucikan, sedang kata Alaqsha  bermakna yang terjauh adalah tempat sujud yang terjauh Ketika itu, yakni terjauh dalam benak dan pandangan manusia, yaitu Bait al Maqdis di Palestina. 

Ada juga yang memahami kata almasjid al Aqsha dalam arti masjid yang terjauh, dalam hal ini di langit ke tujuh. Para ahli tafsir juga menjelaskan bahwa simbol masjid menuju masjid dalam Isro Mi’roj berarti perjalanan dari tempat suci menuju tempat suci dan dilakukan oleh yang suci, bermakna hidup ini harus diawali dari kesucian, menuju kesucian dan berakhir dengan kesucian. Pada dasarnya manusia adalah keturunan makhluk surga, maka ia harus berpulang kembali ke surga. 

Keenam, kalimat “linuriyahu min ayatina”. Allah swt. ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad saw. Kata “yaro” dalam bahasa Arab artinya “menyaksikan langsung”, berbeda dengan kata “syahida”, yang berarti menyaksikan tetapi tidak mesti secara langsung. Allah hendak memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya secara langsung, karena pada saat itu da’wah Nabi sedang mengalami puncak kesulitan dan kebuntuan, ditambah dengan duka cita mendalam atas wafatnya paman, kemudian disusul istri tercinta yang selalu menjadi penopang dan pembela dakwahnya.

Pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad saw. dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar ia menyaksikan bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit dan ujian yang besar saat menunaikan tugas sucinya, sehingga pengalaman ini mampu memperkuat motivasi dan semangatnya. 

Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita, bahwa dalam menyeru kebakan pasti akan mengalami tantangan dan rintangan untuk menjadi media ujian keteguhan dan kesabaran. Kalau kita mampu melewati dengan baik, pasti akan berbuah kesuksesan dan kemenangan. Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah dan fana menuju langit yang tinggi dan abadi. Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf dan tentunya semua umat Islam untuk mendapatkan maqam tinggi berupa ridha dan ma’rifat Allah swt. ***