
Menguak Diamnya Para Pihak Saat Pesantren Diserang
Beritabaru Bogor – Serangan verbal dan stigma yang dialamatkan kepada lembaga pesantren dalam beberapa waktu terakhir belakangan ini menuai keprihatinan luas dari kalangan Nahdliyin, khususnya jajaran Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Jawa Barat. Ketua PW Ansor Jawa Barat, H. Fahmi, menyebut bahwa diamnya banyak pihak ketika pesantren diserang menunjukkan adanya krisis keberpihakan terhadap lembaga keagamaan yang telah berperan penting membentuk karakter bangsa.
Fahmi menilai bahwa pesantren kini tengah menjadi sasaran narasi yang menyesatkan, seolah-olah lembaga pendidikan Islam tradisional itu ketinggalan zaman dan tak relevan dengan perkembangan masyarakat modern. Ia menyebut serangan itu bukan sekadar kritik, tetapi upaya sistematis untuk mengaburkan sejarah dan peran pesantren dalam membangun bangsa.
“Mereka ingin menulis ulang sejarah bangsa tanpa pesantren di dalamnya. Ini bukan sekadar wacana intelektual, tapi bentuk penghapusan simbol identitas keislaman yang ramah dan berakar kuat di masyarakat,” tegas Fahmi saat ditemui di Pesantren Nurulhuda, Cisurupan, Garut.
Ia juga mengkritik sikap pasif sebagian kalangan yang selama ini vokal mengusung gagasan moderasi beragama, tetapi justru diam saat pesantren diserang. “Ketika pesantren jadi bulan-bulanan, banyak yang tiba-tiba kehilangan suara. Padahal mereka selalu bicara soal toleransi dan moderasi,” tambahnya.
Lebih jauh, Fahmi mengingatkan pada momen sejarah di mana Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), berdiri sendiri membela kemanusiaan dan nilai pluralisme di tengah tekanan politik. “Saat Gus Dur dicerca, banyak yang berbalik diam. Polanya terulang — ketika pesantren diserang, suara pembela justru hilang,” ujarnya.
Fahmi juga menegaskan bahwa GP Ansor tidak akan tinggal diam. Bagi Ansor, menjaga pesantren berarti menjaga marwah pendidikan Islam, nilai kebangsaan, serta semangat moderasi yang sesungguhnya.
Menanggapi situasi ini, Ketua GP Ansor Kota Bogor, Ahmad Irfan, turut angkat bicara. Ia menilai bahwa diamnya sebagian kelompok terhadap serangan simbolik maupun naratif terhadap pesantren merupakan tanda bahaya bagi keberlangsungan nilai kebangsaan dan keagamaan yang selama ini dijaga oleh kalangan pesantren.
“Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi benteng moral bangsa. Ketika pesantren diserang, sejatinya yang diserang adalah akar kearifan bangsa itu sendiri,” tegas Ahmad Irfan.
Ia juga menyerukan agar pemerintah dan masyarakat tidak menganggap remeh serangan terhadap pesantren dalam bentuk apapun — baik berupa stigma di media sosial, diskriminasi kebijakan, maupun framing negatif di ruang publik.
“Kita harus berdiri di barisan yang sama: membela kebenaran dan menjaga martabat pesantren. Kalau moderasi hanya berhenti di wacana, maka kita sedang membiarkan kebencian tumbuh tanpa kontrol,” tambahnya.
Ahmad Irfan menegaskan bahwa Ansor Kota Bogor bersama jaringan santri siap menggelar gerakan literasi digital dan edukasi publik untuk menangkal narasi-narasi yang menyesatkan tentang pesantren. Menurutnya, langkah konkret ini perlu untuk mengembalikan kepercayaan publik bahwa pesantren tetap relevan, modern, dan berkontribusi nyata terhadap bangsa.
