Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Urgensi Partai Mendukung Kadernya Dalam Kontestasi Pilkada

Urgensi Partai Mendukung Kadernya Dalam Kontestasi Pilkada



Berita Baru, Opini –  Secara terminologis, kaderisasi menurut kamus ilmiah populer adalah orang yang dididik untuk melanjutkan tongkat estafet dari suatu partai atau organisasi (Partanto dan Bahri, 1994: 293-294). Dalam kata lain, kader bisa diartikan sebagai orang yang diharapkan dapat memegang peranan penting dalam sebuah organisasi.

Dalam politik, Partai Politik merupakan sebuah organisasi yang memiliki peranan penting dalam mencetak kader atau calon pemimpin yang berkualitas. Kaderisasi merupakan suatu kewajiban bagi organisasi. Regenerasi yang baru diharapkan mampu menerima tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya. Maka sangat penting bagi seorang kader mengikuti sampai tuntas jenjang kaderisasi partai baik formal dan non formal.

Pada era soeharto, kepemimpinan melalui partai politik tidak diperhitungkan, sebab sistem anti kritik yang diberlakukan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol menjadi sangat rendah. Ditambah sistem kaderisasi partai pada saat itu tidak berjalan dengan baik. Setelah era reformasi, peta politik berubah. Inilah yang menjadikan momentum partai politik menunjukkan tajinya dalam hal menata transisi demokrasi Indonesia. Dan hal ini terbukti pasca bergulirnya reformasi–di mana kader-kader murni partai politik berhasil mengisi pos-pos kepemimpinan startegis nasional hingga ke daerah.

Seiring berjalannya waktu, partai politik menjadi organisasi sangat penting bagi bangsa Indonesia. Terbukti penguatan tersebut menghasilkan aturan Parlemen Threshold. Parliamentary threshold (PT) itu sendiri merupakan syarat minimal persentase perolehan suara partai politik dari total suara sah untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Secara sederhana, PT dapat dipahami sebagai ambang batas untuk memasuki parlemen.

Aturan ini diterapkan dalam rangka penyederhanaan partai politik setelah aturan ambang batas pemilu (electoral threshold) dianggap tidak efektif. Berbeda dengan electoral threshold (ET) yang menggunakan basis perhitungan kursi, parliamentary threshold dihitung berdasarkan jumlah suara sah nasional yang diraih partai.

Parliamentary threshold mulai diterapkan sejak Pemilu 2009 dengan ketentuan yang berbeda dari pemilu ke pemilu. Dalam Pemilu 2009, ditetapkan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen. Nilai tersebut bertambah menjadi 3,5 persen pada Pemilu 2014 dan menjadi 4 persen pada Pemilu 2019. Kenaikan nilai tersebut diharapkan dapat semakin menjumlah partai yang masuk ke Senayan.

Pasangan Calon baik Presiden hingga Daerah dapat diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya (Pasal 22 UU Pemilu).

Hal ini berdampak pada tingginya tingkat politik transaksional yang kebanyakan persoalan uang. Sehingga, suara partai atau keputusan partai dalam mengusung seseorang berkontestasi bisa diselesaikan melalui uang, termasuk seseorang tersebut yang bukan merupakan kader partainya bahkan bukan anggota partai.

Dalam rezim demokrasi, partai politik merupakan salah satu pilar yang mempengaruhi kualitas demokrasi suatu negara (Imansyah, 2012: 375), disamping pemilu yang juga menjadi pilar utama demokrasi. Menjadi pilar dalam demokrasi menjadikan partai politik memiliki peranan yang sangat penting, seperti dalam proses seleksi kepemimpinan dan pengisian jabatan publik (Harjanto, 2011: 138).

Hingga saat ini, Partai politik masih menjadi lembaga utama penyalur para pemimpin-pemimpin bangsa dan negara. Pada Pemilu 2024, hanya Anies Baswedan dan Mahfud MD yang tercatat bukan sebagai kader partai politik. Selebihnya dari kontestan adalah kader partai. Partai politik memiliki peran, yang salah satunya adalah sebagai rekrutmen politik. Sehingga, adanya bias politik dalam menentukan rekomendasi partai untuk mengusung calon di pemilu, terdekat pilkada 2024 menjadi ajang pembuktian partai politik dalam menjalankan kaderisasinya. Partai harus kembali mencalonkan kader terbaiknya yang telah ditempa khusus untuk memiliki kapasitas menjadi seorang pemimpin.

Dalam era demokrasi, menjamurnya lembaga survey dalam kontestasi pemilu merupakan sebuah anugrah. Di satu sisi, dapat menjadi bencana manakala lembaga survey tersebut bisa dibayar untuk memenangkan salah satu calon, tentu hasil surveynya sudah tidak murni. Tujuannya untuk menggiring opini publik bahwa memang benar calon tersebut digandrungi masyarakat.

Hasilnya, partai politik terbelenggu dengan hasil survey, mau tidak mau, keputusan partai dalam merekomendasikan dan menugaskan kader terbaiknya terhalang oleh fatamorgana politik.

Dalam momen pilkada 2024, penulis berharap, partai politik harus mencalonkan kader mereka sendiri yang telah ditempa dan dibina lama untuk menjadi pemimpin yang berkualitas. Serta, partai politik harus menjadi laboratorium politik guna menyongsong Indonesia Emas 2045. Karena sesuai amanat UUD pasal 22E, parpol adalah lembaga yang sah untuk kedaulatan rakyat merebut kekuasaan.

Poin penting nya, parpol merupakan perjuangan rakyat dalam mencapai sebuah tujuan negara, parpol yang baik sesuai dengan sistem dan mekanismenya akan menghasilkan kader terbaik untuk mengisi posisi strategis, tentunya akan menghasilkan kebijakan yang baik pula bagi bangsa dan negara.

 

Muhammad Hafidz Azami
Ketua Umum Jaringan Aktivis Indonesia Maju (JAIM)

Editor : Zaki romdon