Kembalikan Kewenangan Pengawasan SMA se-Derajat ke Tangan Pemerintah Daerah Untuk Menekan Aksi Tawuran
Berita Baru, Opini – Tawuran merupakan masalah yang tak kunjung selesai dikalangan pelajar. Bagaimana tidak, berkembangnya teknologi menjadikan tawuran makin menjadi-jadi. Pasalnya, sejumlah pelajar turut mengabadikan aksinya melalui siaran langsung di media sosial.
Jika kita melihat data tawuran antar pelajar di Kota Bogor misalnya, semakin menghawatirkan, berbagai penyebab seperti tindakan ejek mengejek, wujud rasa dendam, serta keikutsertaan peran alumni yang diklaim sebagai budaya keharusan. Ditambah dengan minimnya emotional control yang dimiliki oleh remaja, sehingga menyebabkan keinginan untuk mengeksplorasi lebih besar, serta butuhnya validasi identitas, hal ini juga terjadi pada masa-masa pertumbuhan.
Dilansir dari AYOJAKARTA.COM kala itu Kasatreskrim Polresta Bogor Kota, Kompol Dhoni Erwanto mengatakan Pada tahun 2021 jumlah kasus tawuran di Kota Bogor ada sebanyak 45 kasus, sementara di tahun 2020 hanya terdapat 14 kasus. Tak hanya itu, Jumlah pelajar yang diamankan pun turut meningkat, pada tahun 2020 mengamankan sebanyak 39 pelajar yang terlibat tawuran, sementara di 2021 terdapat 146 pelajar.
Disamping itu, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro selaku Kapolresta Bogor Kota kala itu juga mengatakan bahwa sepanjang tahun 2022, berdasarkan catatan Polresta Bogor Kota Jawa Barat, setidaknya terjadi sebanyak 421 pelaku tawuran. Angka yang fantastis tersebut harus menjadi atensi semua lapisan masyarakat, terkhusus pemerintah dan aparatur penegak hukum sangat diperlukan.
Seperti yang terjadi pada tahun 2020, Walikota Bogor Bima Arya mengumpulkan Kepala-Kepala Sekolah se-Kota Bogor yang menghasilkan 6 poin untuk menekan angka tawuran, pertama mendukung kepolisian menindak tegas pelaku tawuran, kedua menerbitkan perda ketertiban umum yang hari ini telah disahkan, ketiga merekomendasikan kepada provinsi untuk ditindak teas bagi Sekolah yang terlibat tawuran, keempat mengaktifkan patroli selama 24 jam, kelima bekerjasama dengan kepolisian untuk mendeteksi indikasi tawuran melalui cyber, dan keenam pembinaan guru dan orang tua.
Dari pihak kepolisian, pelaku tawuran sudah mendapatkan tindakan tegas dengan di sangkakannya pasal 2 ayat (1) pada Undang-undang Darurat No.12 Tahun 1951, dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara.
Memang peristiwa tawuran masih saja terjadi hingga hari ini, jika ditelusuri kebanyakan jenjang pendidikan SMA menjadi yang terbanyak sebagai pelaku pada berita media massa. Tentu kewenangan SMA menjadi tanggung jawab provinsi untuk melakukan monitoring dan tindakan tegas terhadap Sekolah.
Penerapan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, juga menyebabkan beralihnya kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi.
Sehingga muncul kesulitan dari pemerintah daerah yang ingin melakukan tindakan tegas terhalang koordinasi, pasalnya semenjak menjadi tanggung jawab provinsi tidak ada kemajuan signifikan untuk menekan angka tawuran.
Penulis sangat setuju jika tanggung jawab Sekolah Menengah Atas dikembalikan kepada pemerintah kota/kabupaten, agar setiap proses bisa lebih mudah diakses dan diharapkan persoalan teknis bisa cepat terselesaikan.
Provinsi bisa membantu dari segi kebijakan atau bantuan pendidikan guna mewujudkan wajib pendidikan 12 tahun bagi generasi anak bangsa. Di satu sisi, penindakan dan pencegahan tawuran tidak tumpang tindih antara pemerintah daerah dan pemerintah provinsi. Pemerintah daerah bisa secara luwes menerapkan sanksi bagi pelajar, atau pihak sekolah yang tersebut tawuran.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, secara pribadi beliau menilai jarak dan teknis pengawasan sangat jauh berbeda. Terlebih beliau mengatakan pemerintah daerah bisa mengambil langkah cepat untuk melakukan penindakan bagi siswa/Sekolah yang terlibat tawuran.
Di sisi lain, peran pemuda seperti mahasiswa dan mantan pelaku tawuran yang telah memperbaiki diri juga bisa menjadi alternatif untuk melakukan edukasi kepada para pelajar, dan lebih diutamakan alumni Sekolah tersebut. Sehingga mata rantai dari wujud rasa dendam dari alumni sekolah sebelumnya bisa diputus.
Penulis: Muhammad Hafidz Azami
Ketua Umum Inisiator Perjuangan Ide Rakyat (INSPIRA) Cabang Bogor