Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Komersialisasi Pendidikan: Ancaman Terhadap Kualitas dan Aksesibilitas di Perguruan Tinggi

Komersialisasi Pendidikan: Ancaman Terhadap Kualitas dan Aksesibilitas di Perguruan Tinggi



Berita Baru, Opini – Muhamad Wais Lopa, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ibn Khaldun Bogor, menyampaikan pandangannya yang kritis terhadap fenomena komersialisasi pendidikan yang semakin merajalela di Indonesia.

Menurut Wais, peningkatan biaya pendidikan yang tidak sebanding dengan kualitas yang diberikan dapat membatasi akses mahasiswa dari latar belakang ekonomi kurang mampu.“Pendidikan tinggi seharusnya tidak diperlakukan sebagai bisnis yang mengutamakan keuntungan finansial, tetapi sebagai investasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan karakter generasi penerus bangsa.

Namun kenyataannya, banyak perguruan tinggi yang lebih berfokus pada keuntungan ketimbang tujuan sosial pendidikan itu sendiri,” ujar Wais.Di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 35), jelas dinyatakan bahwa pendidikan tinggi berfungsi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, yang tidak hanya siap secara akademis, tetapi juga dapat berkontribusi pada pembangunan negara dan memajukan kesejahteraan masyarakat.

Wais mengingatkan bahwa meskipun perguruan tinggi dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, hal ini tidak seharusnya mengorbankan tujuan utama pendidikan, yang seharusnya tetap berfokus pada peningkatan kualitas manusia dan pemecahan masalah sosial.

Dampak Langsung Komersialisasi PendidikanKomersialisasi pendidikan telah menyebabkan banyak mahasiswa dari keluarga kurang mampu kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-negara maju, dengan banyak lulusan SMA terpaksa tidak melanjutkan pendidikan karena tingginya biaya kuliah.Salah satu contoh konkret adalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa universitas negeri yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) misalnya, beberapa kali menggelar aksi protes terhadap kebijakan kenaikan UKT yang dinilai tidak transparan dan memberatkan. Bahkan, beberapa perguruan tinggi swasta mematok biaya pendidikan yang sangat tinggi, menyebabkan jurang kesenjangan antara mahasiswa yang mampu dan yang kurang mampu semakin melebar.

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana perguruan tinggi dapat memenuhi kebutuhan dunia kerja tanpa harus mengorbankan kualitas pendidikan itu sendiri. Sayangnya, dalam banyak kasus, perguruan tinggi lebih memilih untuk menaikkan biaya kuliah, berfokus pada pembangunan fisik dan fasilitas, daripada meningkatkan kualitas pengajaran dan keterampilan sosial mahasiswa.

Kurangnya Transparansi dan AkuntabilitasSelain mahalnya biaya pendidikan, transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan di perguruan tinggi juga menjadi isu krusial. Banyak mahasiswa dan orang tua merasa bahwa kebijakan kenaikan UKT atau biaya lainnya tidak disertai dengan penjelasan yang jelas mengenai alokasi dana tersebut.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah dana yang diperoleh benar-benar digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan, atau justru lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan bisnis kampus?Fauzan, mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad), mengungkapkan keresahannya terkait kenaikan UKT yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan akademik.

“Kami diminta membayar lebih mahal, tapi fasilitas tetap sama. Bahkan, dalam beberapa kasus, layanan akademik seperti bimbingan skripsi dan akses ke perpustakaan justru semakin sulit,” katanya.Solusi: Pendidikan Berkualitas yang InklusifSebagai solusi, Wais mengusulkan agar perguruan tinggi memperkuat kolaborasi dengan industri, untuk merancang kurikulum yang tidak hanya relevan dengan kebutuhan pasar kerja, tetapi juga menjaga kualitas pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.

Menurutnya, pendidikan tinggi harus tetap dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat tanpa adanya penghalang finansial yang menghalangi potensi mereka.Selain itu, pemerintah perlu mengawasi kebijakan finansial perguruan tinggi agar tidak terlalu membebani mahasiswa.

Skema beasiswa dan subsidi pendidikan harus diperluas agar mahasiswa dari keluarga kurang mampu tetap memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. “Jika pendidikan tinggi tetap dibiarkan menjadi bisnis, maka kesenjangan sosial akan semakin tajam, dan tujuan menciptakan masyarakat berpendidikan tinggi yang inklusif akan semakin jauh dari harapan,” ujar Wais.

“Dengan memperhatikan keberlanjutan dan kualitas pendidikan, kita dapat mencetak generasi yang siap bersaing secara global, namun tetap berpegang pada prinsip integritas dan tanggung jawab sosial,” tutup Wais.