Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Cinta Jallaludin Rumi

Maulana Jalaludin Rumi : Makna Cinta Tidak Lagi Berharga Jika Sudah Mengenal Cinta



Berita Baru – Nama Maulana Jalaludin Rumi tentu sudah tidak asing di kalangan orang muslim. Selain seorang sufi, Rumi juga dikenal sebagai penyair. Bahkan tidak sedikit para pujangga memakai kata-kata Maulana Rumi untuk mengutarakan isi hatinya terhadap orang yang dicintainya.

Dalam kajian rutin Ngaji Filsafat 144 : Filsafat Cinta – Jalaluddin Rumi pada 22 Februari 2017 lalu, Fahruddin Faiz mengatakan cinta bagi Rumi memiliki arti sebagai ‘Perasaan Universal’.

“Rumi menyebut cinta sebagai sebuah roh persatuan dengan alam semesta. Karena bersifat universal, menurut Rumi, karakter cinta dimiliki semua orang dari semua agama, dan budaya. Mereka semua menganggap cinta itu luhur dan baik,” ungkap Fahruddin Faiz.

Fahruddin Faiz menerangkan, oleh karena keluhuran dan kebaikan itulah, cinta bagi Rumi, juga sebagai obat atau pemulihan terhadap kesombongan yang melekat dalam diri manusia. “Cinta adalah tabib dari segala kelemahan dan dukacita. Kata Rumi, jiwa pecinta adalah jiwa yang rendah hati karena tidak memikirkan diri sendiri,” tambahnya.

Atas kekagumannya pada cinta tersebut, Rumi menggambarkan cinta sebagai kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta.

“Gara-gara ada cinta alam ini bersatu dan berpisah. Bukan hanya pertemuan, perpisahan pun itu tanda dari cinta, seperti halnya orang tua menyapih anaknya, ibu melepaskan asi dari sang bayi. Walaupun itu berat namun demi kebaikan si bayi maka perpisahan tersebut akan ditempuh.

Ataupun dua sejoli yang merelakan salah satu pasangannya pergi. Jika tidak ada cinta, hanya ada rasa kepemilikan. Maka tidak akan pernah rela berpisah dengan pasangannya. Karena cintalah yang memberikan makna bagi kehidupan dan keberadaan kita,” Fahruddin Faiz mencontohkan cinta yang menyatukan dan merelakan dalam pengertian Rumi.

Kata Maulana Rumi, lanjut Fahruddin Faiz, cinta yang membuat karakter manusia me-Nuhan (semakin spiritual)–ciri sejati cinta terdapat pada ikhlas. “Ketika orang jatuh cinta ‘aku’ akan hilang yang ada ‘engkau’,” Fahruddin Faiz mengutip Rumi.

Semakin seseorang mencintai, kata Fahruddin Faiz, makin larutlah ia terserap dalam tujuan-tujuan ilahiyah kehidupan. Dalam tujuan-tujuan ilahiyah penciptaan inilah, sambungnya, manusia memperoleh makna yang sebenarnya dari kehidupannya di dunia dan itu pulalah yang memberinya kebahagiaan rohaniah yang tidak terkira nilainya.

Fahruddin Faiz mengatakan, bentuk apa saja yang diekspresikan oleh cinta adalah baik, karena cinta hanya akan memilih ekspresi terbaik. “Jika dasarnya cinta tidak akan membawa keburukan jika mengatakan cinta tapi melahirkan keburukan maka itu bukan cinta bahkan jauh dari cinta,” tambahnya.

Cinta berbeda dari perasaan suka dan duka. Ia, kata Fahruddin Faiz mengutip Rumi, tidak menuntut pahala, tidak memperdulikan hukuman dan neraka, seperti tampak dalam doa-doa Rabi’ah al-Adawiyah yang begitu indah.

“Ya Allah apabila aku menyembah-Mu karena takut akan siksa neraka-Mu, bakarlah diriku dengan apinya. Bila sujudku pada-Mu karena mendamba syurga, tutuplah pintu syurga itu. Namun bila ibadahku demi Engkau semata, jangan sesekali palingkan wajah-Mu, aku rindu menatap abadinya keindahan-Mu,” doa Rabi’ah al-Adawiyah dikutip Fahruddin Faiz.

Lebih lanjt, Fahruddin Faiz mengataka, cinta meninggikan/mentransendensikan intelek. “Sebab kita tidak hidup untuk berpikir, tetapi kita berpikir untuk hidup,” tambahnya.

Dari sekian makna tentang cinta, kata Fahruddin Faiz mengutip Maulana Rumi, makna dari itu semuanya tidaklah terlalu penting. “Karena jika sudah berada di jalan cinta yang ada hanya rasa dan rasa itu sendiri tidak bisa dijelaskan secara teori,” terangnya.

Maulana Rumi berkata :

Seseorang bertanya, apa itu cinta?
Aku jawab: jangan tanya tentang maknanya.

Kalau engkau sudah menjadi seperti aku,
maka engkau aku tahu.

Saat cinta memanggilmu,
engkau akan berkisah tentang itu

Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.
Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri.
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya.

Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur hina
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta
Dan kisah cinta!.