Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Memahami Akar Masalah: Refleksi atas Tawuran Pelajar Jakarta Timur yang Merenggut Sebuah Tangan

Memahami Akar Masalah: Refleksi atas Tawuran Pelajar Jakarta Timur yang Merenggut Sebuah Tangan



Berita Baru, Opini -Aksi tawuran antar pelajar kembali terjadi di Jakarta Timur, kawasan Pasar Rebo tepatnya di flyover seberang kampus UHAMKA pada Minggu (28/1) sekitar pukul 04.30 WIB. Diketahui dalam sebuah unggahan video amatir terdapat beberapa pelajar ricuh berlarian dan satu pelajar tangannya putus terkena sabetan senjata tajam. Namun, Polres Jakarta Timur berhasil menemukan dan menetapkan 4 remaja tersangka dalam tawuran tersebut, yakni: AM (17), P (17), dan dua tersangka lain yang masih dibawah umur.

Melansir KumparanNews Kapolres Jakarta Timur, Kombes Pol Nicholas AL mengatakan bahwa kemungkinan keempat remaja tersangka tersebut akan terancam hukuman penjara kurang lebih 9 tahun. “Pasal yang dipersangkakan terhadap mereka adalah Pasal 76c jo Pasal 80 Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 dan atau Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama 9 tahun,” ujarnya saat jumpa pers di Mapolres Jakarta Timur, Selasa (30/1).

Secara historis, aksi Tawuran sendiri muncul sekitar tahun 1960-an jika dilihat berdasar pemberitaan media massa pertama kalinya. Tepatnya ketika tahun 1968 pertama kali muncul berita di Kompas edisi 29 Juni yang memuat artikel mengenai tawuran pelajar Jakarta dengan judul “Bentrokan Peladjar Berdarah” yang mengakibatkan Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin ikut turun tangan mengimbau para pelajar yang tengah berselisih itu.

Jika dianalisis tentu peristiwa tawuran merugikan banyak hal, tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga luka psikologis yang mendalam bagi semua pihak yang terlibat. Baik pelaku dan korban keduanya tentu berpengaruh. Bagi korban, tentu dampak psikologis yang terasa yaitu takut, cemas, hilang rasa aman, trauma bahkan tak jarang bisa mengakibatkan depresi berkepanjangan. Namun, disisi lain tentu pelaku juga berdampak permasalahan psikologis, seperti: perasaan bersalah dan rasa malu, anxiety dan stres berkepanjangan, rasa takut balasan dan reputasi, dan berbagai dampak psikologis lainnya.

Penyebab dari fenomena ini biasanya berawal dari masalah sepele, seperti: saling ejek antar anggota geng, kalah pertandingan, rebutan pacar, bahkan tak jarang berawal dari candaan yang berlebihan hingga berujung perkelahian. Selain alasan spontan, biasanya tawuran antar pelajar juga terjadi karena sebuah tradisi berupa permusuhan antar sekolah yang didorong oleh rasa setia kawan dan solidaritas tinggi sehingga pelajar korban akan membalas perlakuan yang diterima temannya pada pelajar pelaku dan menyerang sekolahnya.

Disisi lain, krisis mental health di kalangan pelajar, degradasi moral, dan kurangnya pendidikan karakter di lingkungan Pendidikan juga menjadi pemicu maraknya aksi tawuran ini. Krisis mental health di kalangan pelajar Indonesia menjadi salah satu akar masalah utama. Permasalahan keluarga, tekanan nilai akademik, masalah pribadi, dan ketidakmampuan mengelola emosi bisa menjadi pemicu perilaku agresif sehingga menjadikan aksi tawuran sebagai pelarian dan kesenangan sesaat. Selain itu, degradasi moral juga menjadi faktor penting dalam fenomena tawuran ini. Kehilangan nilai-nilai moral seperti empati, toleransi, dan kepedulian terhadap sesama membuat pelajar rentan terhadap tindakan kekerasan.

Untuk itu, pendidikan karakter perlu menjadi fokus utama dalam upaya mencegah tawuran dan perilaku negatif lainnya di kalangan pelajar. Pentingnya mengajarkan nilai-nilai seperti kebaikan, tanggung jawab, dan kerjasama dalam hal yang baik juga tentu sangat penting.

Selain itu, solusi praktis dan berkelanjutan, seperti: peningkatan pengawasan sekolah, pelatihan bagi guru dan staf sekolah dalam manajemen konflik, kampanye anti-kekerasan, dan program rehabilitasi bagi pelaku juga bisa menjadi solusi untuk pencegahan aksi tawuran. Pendidikan di sekolah juga seharusnya tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga mendidik karakter dan keterampilan sosial. Program-program pembelajaran yang memperkuat nilai-nilai moral perlu didorong dan diterapkan secara konsisten.

Disisi lain, media sosial juga berperan dalam memperkuat budaya kekerasan dan konflik di kalangan pelajar. Perlunya pendekatan yang bijak dalam penggunaan media sosial serta peningkatan kesadaran akan dampak negatifnya. Untuk itu, intervensi dini terhadap perilaku agresif dan masalah mental health perlu didorong. Sistem pendeteksian dini dan layanan konseling yang mudah diakses dapat membantu mencegah eskalasi konflik.

Meskipun tradisi turun-temurun ini susah untuk diubah, namun kita harus tetap memiliki harapan akan perubahan. Dengan upaya bersama dari pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat, tentu kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi para pelajar di Indonesia.

Oleh : Rahmalia Ramdlini (Mahasiswi Prodi Komunikasi Digital dan Media, SV, IPB
University)